“Saya tiba saat mendengar
teriakan ceu Esih”. Ujar mang Carta.
Warga berbisik riuh
setelah mendengar penjelasan dari mang Carta, Duloh sendiri tangannya sibuk
beradu dengan makanan yang disediakan tuan rumah.
“Terus, mang Carta
melihat payudara janda itu dong”. Duloh menimpali
“Ergghhhh.. itu hmm
kebetulan saya terlambat persekian detik”. Balas mang Carta
Disambut tawa para warga
mendengar jawaban dari mang Carta.
“Jangan-jangan kau Carta
yang ngintipnya”. Ujar mang Oyan
“Enak saja, saya tak
perlu mengintipnya. Saya akan mendatanginya langsung ke rumahnya”. Ucap mang
Carta Geram mendengar pertanyaan dari mang Oyan
“Dia tak lebih dari Janda
yang kesepian”. Lanjut mang Carta
“Tapi Ceu Esih sebagai
janda juga pilih-pilih kalau memilih lelaki, tidak akan memilih lelaki peot dan
susah ngaceng sepertimu”. Ujar mang Oyan kembali menimpali sehingga semakin
ramai lah tawa para warga dan semakin merah padamlah wajang mang Carta.
“Sudah-sudah, kita di
sini bukan untuk mengolok-ngolok si Carta, kita harus segera mengatasi
kerisauan para warga yang lain, terutama yang punya istri dan anak perempuan
yang sudah dewasa”. Ki Caswin segera menengahi keributan itu.
“Hmm sebaiknya kita
bicarakan kepada ki Lurah ki Caswin?”. RT. Kurdi memulai mendiskusikan
Musyawarah di rumah Tetua
Kampung ki Caswin berakhir setelah hujan mulai reda dan hanya gerimis kecil
yang sedikit enggan. Para warga satu persatu meninggalkan rumah ki Caswin
dengan membawa harapan dan tentunya ingin segera menangkap si Pengintip ini.
Apalagi menurut ki Caswin sendiri ada dua kemungkinan. Satu orang gila yang
hobi ngintip mandi atau orang yang sedang menjalankan Ritual sesat.
===================
Malam Kedua setelah
musyawarah di Rumah ki Caswin
Kampung Sari Tanjung di
malam hari tidak banyak aktivitas warga, beberapa orang tua setelah shalat isya
di mushola mereka bergegas kembali ke rumah, memilih berkumpul dengan
keluarganya. Apalagi cuaca di bulan November terkadang mulai tidak menentu.
pagi hari mendung, siang hujan dan sore matahari begitu cerah tetiba dimalam
hari sudah terdengar suara petir menandakan bakal turun hujan.
Dirumah lurah Sarno
setelah isya kedatangan tamu, yaitu ki Caswin dan RT. Kurdi, Rumah Lurah Sarno
sendiri, sedikit jauh atau beberapa puluh meter dari pusat kampung, Rumah yang
baru saja berdiri setelah Lurah Sarno menjabat dua periode dan memilih membeli
tanah yang sedikit jauh dari pemukiman warga. Sisi kiri dari rumah Lurah Sarno
masih perkebunan miliknya lebih tepatnya perkebunan rambutan, sisi kanannya pun
tak lebih sama, kebun yang bermacam yang juga masih miliknya lurah Sarno turun
temurun dari Bapaknya. Lurus kedepan ada jalan yang mengubungkan kampung Sari
Tanjung dengan kampung tetangga kampung Sari Mekar.
Menurut cerita warga yang
beredar. Lurah Sarno membangun rumah jauh dari pemukiman karena masa jabatannya
hampir habis jadi beliau memilih menyepi dan menikmati sisa-sisa pensiunnya
suatu saat nanti di tanah perkebunan yang akhirnya dibangun rumahnya tersebut.
Maklum kedua anak lelaki Lurah Sarno sudah berkeluarga dan semuanya lebih
memilih hidup di Kota.
Hanya Bu Kokom istri
Lurah Sarno, Mang Atam si tukang kebun dan istrinya Ceu Iroh yang
membantu pekerjaan rumah. Mang Atam dan istrinya sendiri tidak mempunyai anak.
mereka telah tinggal bersama Lurah Sarno semenjak Ayahnya Ceu Iroh masih jadi
tukang kebun Ayahnya Lurah Sarno.
Mang Atam sendiri dulu adalah pemuda perantauan yang kebeteluan bertemu dengan Ceu Iroh saat mereka bekerja
sebagai buruh pabrik sabun cuci. Cinta menjodohkan mereka. begitu mereka selalu
mengucapkan. Iyak tidak lama Mang Atam yang dari Jawa tersebut tidak menunggu
lama untuk mempersunting Ceu Iroh, tapi setelah perkawinan mereka berjalan
sekitar dua tahun. Pabrik yang menghidupi mereka bangkut secara perlahan-lahan
dan mereka terkena PHK massal.
Mang Atam sendiri tadinya
ingin kembali ke kampung halaman, di Jawa sana, membangun usaha atau mungkin
bertani. Tapi ceu Iroh tidak mau. Ceu Iroh lebih memilih bercerai jika
harus ikut suami di Jawa sana. Ceu iroh ingin kembali ke kampung halamannya,
kampung Sari Tanjung.
Jika Cinta itu buta, maka
itu benar apa yang dikatakan penyayi dari Malasyia, akhirnya Mang Atam lebih
memilih ikut dengan Ceu Iroh karena begitu cintanya kepada Ceu Iroh. Yang
sering dia ceritakan kepada teman sesama buruh pabrik bahwa goyangannya Ceu
Iroh bisa meluluh lantahkan rudal nuklirnya.
Bingung dengan kehidupan
di kampung membuat mang Atam banyak menghabiskan waktu di rumah, berpikir akan
membuat usaha apa disini, atau menjadi petani apa ini. Tapi sebelum mang Atam
bingung dengan apa yang harus dilakukannya di kampung Ceu Iroh, Bapaknya Ceu
Iroh yang sudah sepuh menawarkan untuk menggantikannya mengurus Kebun yang
dimiliki Juragan Sarju bapaknya Lurah Sarno yang waktu itu masih anak-anak
berusia 14 tahun.
Sambil menyelam meminum
air, begitulah para pepatah mengatakan. Juragan Sarju yang mempunyai persawahan
yang berhektar-hektar dan kebun yang luas menyuruh ceu Iroh untuk
bekerja jadi pembantu rumah tangga dan Mang Atam untuk mengurs perkebunan dan persawahannya. Ceu Iroh Mengurus semua pekerjaan rumah yang sedikit
terbengkalai semenjak istrinya meninggal tiga bulan yang lalu.
Komentar
Posting Komentar