Langsung ke konten utama

Jalan itu masih sama

Bulan Oktober biasanya di kota kami adalah musim hujan disertai petir, terkadang angin. Sebagian masyarakat sudah paham saat memasuki awal musim penghujanan, mereka membersihkan aliran-aliran air yang mampet karena sampah atau dangkal. Tahukan kamu kawan, bulan oktober adalah awalnya benih-benih bayi akan dibuat.

Di Desa kami Desa Tanjungsari Barat dan sekitarnya akhir Oktober adalah akhir dari perhajatan, entah itu hajat sunatan anaknya atau pernikahan. Kata orang tua dulu setelah bulan haji lewat itu tandanya orang hajatan akan bermunculan.

Biasanya hujan akan turun saat menjelang sore, disertai petir dan angin. Terkadang lebih awal saat setelah adzan Dzuhur berkumandang, setelahnya itu PLN akan mematikan aliran listriknya sampai cuaca kondusif. PLN memang siap siaga dalam hal ini. Apalagi cuaca buruk di bulan Oktober sampai November mereka akan sesering mungkin untuk mematikan aliran listrik.

Saat hujan turun, anak-anak akan berlarian keluar rumah, walaupun hujan membawa petir dan angin, maklum di kampung kami saat musim hujan datang adalah musim mangga. Dan anak-anak senang saat hujan datang, mereka akan berlarian diterpa hujan melawan angin menantang petir lalu memperebutkan buah mangga masak yang jatuh saat tersapu angin kencang.

Teman-teman kecilku saat itu sering mengajak bermain saat hujan, entah untuk bermain bola atau memungut buah mangga. Tahukah kawan, bahwa bermain bola saat hujan itu mengasyikan. Tak percaya tanyaklah anakmu atau tetangga yang punya anak kecil

Tarso, Rahmat, Iyos, Endang, Aji, Edi, Asep itu teman-teman masa kecilku, menemani bermain bola, berebut mangga saat hujan turun, teman mengaji, teman sekolah dan saingan mendapatkan cewek saat Sekolah Dasar dulu.

Hujang memang selalu memberikan sebuah cerita, terkadang memberikan rindu. Walau terkadang hujan jua lah yang membawa rindu-rindu larut bersama tanah yang kering.

Jalan itu masih sama seperti 21 tahun yang lalu, berlubang dan berdebu. Bekas-bekas aspalnya membentuk lubang-lubang membuat pengendara tidak nyaman mengendarai kendaraannya. Saat musim hujan datang, jalan itu licin, lubang yang dalam tergenang air. Sepanjang jalan itu kiri dan kanannya adalah perkebunan tebu milik pemerintah. Konon katanya dulu adalah perkebenunan karet milik Belanda dan ditengah perkebunan ada sebuah perkampungan. Dulunya perkampungan itu adalah pabrik karet, dipinggir-pinggir pabrik terdapat puluhan rumah milik pekerja pribumi  tinggal. Belanda menyebutnya dengan perkampungan Bedeng.

Tahun 90an saat Presiden Soeharto masih memimpin negeri ini, jalanan sepanjang perkebunan tebu disulap menjadi lintasan roadrace. Anaknya Tommy Soeharto penyuka mobil balap sering menggunakan jalanan di perkebunan tebu itu untuk melatih skill dan memamerkan kebolehannya menunggang roda empat. Saat Tommy beraksi. Masyarakat berbondong-berbondong untuk melihat, iyak. Tahun 90an hiburan begitu langka, apalagi saat mendengar kata mobil yang memang susah sekali dilihat di kampung kami.  

Ayahku sering mengajak kalau ada acara RoadRace, menonton dipinggir jalan untuk melihat mobil berputar saat berbelok ditikungan tajam. Lalu debu-debu berterbangan seiring ban belakang mobil itu “bermanuver”.

Sepulangnya menonton Road Race anaknya pa Soeharto, Ayah selalu mencuri dua atau tiga batang tebu untuk aku minum rasa manisnya dan membawa kerumah. Sambil diboncengi sepeda tuanya, ayah selalu bercerita bahwa di Jakarta banyak mobil-mobil seperti itu dijalanan. Iyak. Ayahku selalu merantau ke Jakarta sebagai mandor bangunan pulang dua minggu sekali terkadang sebulan. Makanya dia tahu jenis-jenis mobil dan selalu menceritakannya setiap kali dia menemaniku menonton road race atau saat santai dirumah.

Suatu hari saat kembali menonton road race anaknya Pa Soeharto, ayah membelikanku sebuah mobil-mobilan berbentuk truk di pedagang yang mangkal di acara road race. Aku tersenyum gembira, karena teman-temanku yang lain sudah punya terlebih dahulu, sedangkan aku baru saja dibelikan. Tak apalah mungkin ayah baru saja mendapatkan uang lebih.


Kembali debu-debu itu berterbangan saat ban motor kendaraanku melintas dijalanan itu. Sedikit berbeda dengan saat aku masih kecil. Sekarang ada Tiang listrik dan bukit di tengahnya tidak lagi tinggi. Yang masih sama kiri-kanan masih perkebunan tebu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Draff

Hai, tak terasa ternyata sudah hampir satu tahun kita tidak berkomunikasi, rasanya seperti ada yang hilang, dan memang hilang. Hilang yang berbeda. Aku bisa melihatmu, aku bisa menemukanmu. Tapi dalam konteks yang berbeda. Susah sekali aku mengutarakan ini dalam sebuah kalimat :(. Baiklah, mungkin ini adalah suratan takdir alias jalan Tuhan untuk kita. Pertemuan yang singkat, Percintaan yang singkat, semuanya singkat. Hal yang aku tidak suka dari diriku adalah hal-hal yang sudah terbiasa setiap harinya, perlahan menghilang. Dan aku bersedih jika sudah seperti itu. Mungkin kata yang tepat untuk menggambarkan semua perasaan ini adalah hanya satu kata "Rindu" Baiklah, pertama-pertama aku akan membuat surat untukmu melalui blog ku ini, dan berharap kamu membacanya. Semalam, tanpa sengaja aku menemukan photo di galeri ponselku. Aku ingat, waktu itu kita sedang berkomunikasi setelah kita pulang kerja melalui daring Chatting. Kamu mengirimkan photo itu dan mengatakan

CIUMAN PADA HITUNGAN KETIGA

"Aku akan menciummu pada hitungan ketiga," bisik seorang pria ke telinga pacarnya. Perempuan yang dibisiki, memerah pipinya. Ia hanya tersenyum kecil. Mencubit lengan pacarnya itu. "Kamu apaan sih," jawab si perempuan. Ada gelisah yang tertahan disana. "Kamu pernah berciuman sebelumnya?" Yang ditanya bertambah merah mukanya. Ia tidak menjawab tegas. Hanya berseloroh. "Kamu apaan sih..." "Kalau kamu pernah berciuman, pada hitungan keberapa biasanya kamu mulai berciuman?" "Udah ah, masa ngomongin itu terus..." Lalu lelaki itu mulai menghitung. "Satu..." Jantung perempuan serasa berdetak cepat. Mulai gak beraturan. Entah apa yang dia nantikan. Jujur, ini bukan ciuman pertama baginya. Tapi, ketika dilakukan dengan aba-aba. Rasanya deg-degan juga. Ia mendengar dengan seksama suara lelaki itu menghitung. "Dua..." Ah, dadanya terasa mau meledak. Ia gak bisa membayangkan ciuman seperti apa yang