Hujan kelihatannya mulai tidak
bersahabat, menahan langkahku untuk bergerak dari halte bus di depan gedung
Fatmawati, segera kusandarakan kepalaku di tiang-tiang halte, menutup kepalaku
dengan upluk dari sweater yang aku pakai hari ini. Sesekali jari tanganku asyik
membuka social media, membaca satu persatu tweet-tweet yang aku follow.
Disampingku duduk dua orang
wanita teman kampusku, Fanny dan Putri Mereka satu kampus tapi kita berebeda
jurusan, aku mengenalnya karena kita satu kostan. Aku jelaskan. Maksudku kita
tetangga kost dengan pemilik kost yang sama. Haji Burhan nama pemilik kost itu.
Hujan sore itu cukup lebat tapi
tidak disertai petir. Aku terjebak bersama mereka karena menunggu angkutan
umum. Sudah hampir satu setengah jam aku menunggu kemunculan angkot bersama dua
wanita ini. Tapi tak satupun kelihatan. Mungkin sopirnya lagi malas mencari
penumpang karena hujan.
“Jukaaay……”. Suara Fanny
menggelegar bak petir, mengagetkanku yang sedang melamun.
“kemana angkotnya?”. Fanny melanjutkan
“meneketehe?”. Jawabku ketus,
ketus karena kaget
Fanny, mahasiswi jurusan sastra
Indonesia, anak kepala desa dan ibunya guru di sebuah sekolah dasar negeri. Fanny
terlahir sebagai anak pertama dan mempunyai dua adik, adiknya semuanya laki-laki.
Fanny wanita periang dan pintar dalam hal berbicara di depan umum. Aku tahu itu
karena saat demo mahasiswa. Fanny yang
berorasi menuntut pergantian rektor gara-gara mencabuli mahasiswinya. Mungkin
dia aktvis kampus, aku kurang mengetahui kegiatannya di kampus, aku hanya
mengenalnya di kostan itupun saat malam.
“kita jalan kaki saja yuk”..
Ah, suara itu, begitu lembut
terdengar, berbeda dengar suara pertama. Itu adalah suara Putri
Aku menengok ke sebelah kiri, dia
tersenyum memandangku sambil menatap tajam.
“Tapi kan hujaaan?” Fanny
menimpali Putri.
“Kita tunggu reda, lalu kita
jalan kaki sambil mampir ke warung pecelnya mang Hasan”. Aku menambahkan tak
lupa aku melirik ke Putri
“Aku setuujuuuuu, tapi Jukay yak
yang teraktir?”. Putri menyetujui usulku
“Iyaaak aku juga setuju”. Fanny
ikut-ikutan
Aku hanya terseyum tipis, mau
menolak soal traktiran itu tapi yang mengusulkan Putri Wanita manis yang selalu
berbicara dengan lembut dan tatapan mata yang membuat lelaki manapun luluh. Ah
mungkin dia turunan Cleopatra pemikat para lelaki.
Putri, yang aku ketahui orang
tuanya berdagang, dan mempunyai satu adik laki-laki, Putri anak pertama. Dia
jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi, wanita berkurudung yang diam-diam
aku sukai, irit berbicara dan selalu tersenyum saat aku sapa.
Sainganku banyak, terlalu banyak
malah. Rata-rata yang naksir Putri adalah mahasiswa yang mempunyai kendaraan
roda empat. Sedangkan aku, aku hanyalah lelaki yang setiap hari naik angkot.
Kadang aku selalu minder. Tapi aku beruntung karena aku adalah tetangga kostnya
dan walau setiap hari tidak berangkat atau pulang bareng, setidaknya. Saat
malam kita masih bisa mengobrol bersama walau tidak berdua. Tentunya ada Fanny
dan satu teman kostan lagi Dewi namanya. Dewi bukan anak kuliahan, dia pekerja
disebuah kantor swasta yang bergerak dibidang urusan TKW.
Hujan mulai berhenti, aku
melangkahkan kakiku mengajak Fanny dan Putri berjalan kaki untuk pulang, tak
lupa meneraktir mereka membeli pecel mang Hasan bekal untuk makan malam
bersama.
Komentar
Posting Komentar