Langsung ke konten utama

Lapangan Bola itu Kini........

"Weuy kadieu oper bolana, weuy"

Teriakan-teriakan itu terdengar dari sekumpulan anak-anak yang sedang bermain bola di sore hari. Matahari hampir tenggelam di ufuk barat, bertanda magrib akan segera tiba. Anak-anak kampung itu masih asyik memperebutkan bola lalu memasukannnya ke gawang kecil. Gawang itu pembatasnya hanyalah sendal jepit.

Lapangan merah masyarakat sekitar menyebutnya begitu, lapangan bola yang terletak di tengah-tengah perumahan penduduk itu selalu ramai saat sore hari. Anak-anak sampai dewasa berkumpul di lapangan merah untuk bermain bukan hanya sepakbola, ada yang bermain sepeda, anak perempuan bermain ajleng-ajlengan sedangkan anak-anak yang hobi bola bermain secara bergiliran. Orang Dewasa mendapatkan jatah bermain jam 5 sore, sedangkan anak-anak kecil kebagian bermain jam 3 terkadang ada yang bermain jam 1 siang. 

Setiap musim kemarau akan tiba lapang merah akan menjadi tuan rumah pagelaran turnamen-turnamen besar yang diselenggarakan oleh Karang Taruna Desa. Lapangan itu di tutup layaknya stadion, sebelum pertandingan akan dimulai. Panitia membewarakan terlebih dahulu dengan berkeliling kampung dan desa menggunakan mobil bahwa  di sore hari ada pertandingan.

Sore harinya, orang-orang berbondong-bondong berdatangan dari kampung seberang atau Desa lain melihat pertandingan di lapang merah. Panitia dengan sigap sudah menyiapkan tiket dan bonus sebungkus rokok sebagai sponsor menemani menonton pertandingan. 

Gue masih ingat saat itu berumur 8 - 9 tahun. Ibu adalah anggota PKK di Desa, beliau waktu itu masih muda sekitar umuran 20 atau 25 tahunan. Maklum ibu gue menikah muda. Setiap ada event di lapangan merah, beliau selalu ikut serta, entah sebagai penjaga karcis ataupun panitia konsumsi. Iyak ibu gue senang dan bahagia menjadi panitia walau katanya beliau kadang dibayar hanya dengan makan bakso bersama bareng panita lainnya. 

Setiap sore diwaktu itu adalah hiburan bagi gue. Ada event turnamen bola ataupun tidak lapangan merah adalah tempat bermain yang menyenangkan bagi gue. Bermain bola, bermain sepeda, bermain layangan semua gue lakuin di lapangan merah. Iyak. masa kecil gue hampir setengahnya di lapangan merah itu setiap sore. 

Beranjak dewasa event turnamen bola di lapangan merah makin terkikis. sudah jarang, Tapi untuk hiburan rakyat lapangan merah masih ramai. Terkadang dari perusahaan rokok menggelar layar tancap saat malam minggu, ada juga komedi putar yang datang setiap habis panen padi. 

Gue selalu ketiban rejeki saat ada hiburan rakyat, entah itu layar tancap atau komedi putar, gue selalu jualan koran saat ada layar tancap dan jaga parkir saat ada komedi putar. Ah. lapang merah memang selalu memberikan gue kesenangan. 

"Hahahaahaha asup.... Huhuhuhuhuh.."

Terdengar kembali teriakan anak-anak kecil yang bermain di lapang merah itu, mereka tertawa senang saat temannya mencetak gol dan meledek teman-temannya yang kalah. 

Gue mentap langit sore, sebentar lagi suara adzan magrib akan berkumandang. Iyak tak lama kemudian anak-anak yang bermain bola itu bubar satu persatu. Adzan magrib adalah peluit akhir permainan mereka. 

Ingatan gue kembali ke masa kecil, saat itu persis seperti anak-anak yang bermain. Gue dan teman-teman saat terdengar adzan magrib, masing-masing membubarkan diri pertanda pertandingan usai. 

Kini lapang merah itu sepi, tak terdengar lagi teriakan anak-anak yang bermain bola

Iyak, saat gue liburan kerja. Sore-sore gue  melongok tempat bermain saat kecil. Tak ada lari-larian anak-anak kecil, tak ada teriakan, tak ada yang bermain sepeda, tak ada cewek gebetan waktu kecil yang nonton saat gue bermain bola. yang ada hanya dua ayam yang sedang mencari makan. 

Miris hati kecil ini saat melihat lapangan merah itu saat gue dewasa dia tak ada sepakbola, tak ada anak kecil yang berlari mengejar bola, yang berkelahi dan menangis. 

Zaman semakin maju, teknologi semakin canggih, anak kecil sekarang lebih senang bermain dengan gadget dan berkendara motor ngebut-ngebut saat sore hari. Kadang bermain di warnet atau menghabiskan waktu di tempat rental playstation. Terkadang gue ingin kembali ke masa dimana gue kecil. Bermain bola sore hari dan menunggu gebetan pulang sekolah agama melewati lapang merah itu. Iyak dulu gue saat kecil punya gebetan dan setiap pulang sekolah agama gebetan gue itu pulang melewati lapang merah. Hati gue pun bersorak saat mata melihat dia berada dipinggir lapang melihat gue memainkan sikulit bundar. Ah andai ....lagunya Gigi. 

Saat tim gue kalah, mata gue selalu memandang ke arah selatan
melihat langit persis seperti di photo ini 
Gue dulu punya pacar orang selatan, entah sugesti darimana setiap gue bermain bola, jika tim gue kalah dan gue ikut bermain, gue selalu memandang langit ke arah selatan dan membayangkan bahwa pacar gue sedang menonton gue bermain bola. Setelah itu semangat gue kembali menggebu walau akhirnya tim gue kalah juga. 

Teman sepermainan gue hampir sebagian sudah menikah dan mempunyai anak, hanya beberapa teman seangkatan gue yang belum menikah dan masih sering bermain bola di lapangan merah itu. itupun dua tiga tahun yang lalu. Sekarang seperti yang terlihat digambar. Sepi. 

Gue beranjak dari tempat duduk setelah lama menatap setiap sudut lapangan merah itu. Batin gue berkecamuk. Ingatan gue berputar mengingat setiap detil yang gue lakuin bersama dilapangan ini. Menarik nafas dan menghembuskannya adalah emosi sedih yang tidak bisa gue keluarkan lewat air mata. 

Semoga anak dan cucu gue masih bisa menikmati lapangan merah itu ...............

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jalan itu masih sama

Bulan Oktober biasanya di kota kami adalah musim hujan disertai petir, terkadang angin. Sebagian masyarakat sudah paham saat memasuki awal musim penghujanan, mereka membersihkan aliran-aliran air yang mampet karena sampah atau dangkal. Tahukan kamu kawan, bulan oktober adalah awalnya benih-benih bayi akan dibuat. Di Desa kami Desa Tanjungsari Barat dan sekitarnya akhir Oktober adalah akhir dari perhajatan, entah itu hajat sunatan anaknya atau pernikahan. Kata orang tua dulu setelah bulan haji lewat itu tandanya orang hajatan akan bermunculan. Biasanya hujan akan turun saat menjelang sore, disertai petir dan angin. Terkadang lebih awal saat setelah adzan Dzuhur berkumandang, setelahnya itu PLN akan mematikan aliran listriknya sampai cuaca kondusif. PLN memang siap siaga dalam hal ini. Apalagi cuaca buruk di bulan Oktober sampai November mereka akan sesering mungkin untuk mematikan aliran listrik. Saat hujan turun, anak-anak akan berlarian keluar rumah, walaupun hujan membaw

Draff

Hai, tak terasa ternyata sudah hampir satu tahun kita tidak berkomunikasi, rasanya seperti ada yang hilang, dan memang hilang. Hilang yang berbeda. Aku bisa melihatmu, aku bisa menemukanmu. Tapi dalam konteks yang berbeda. Susah sekali aku mengutarakan ini dalam sebuah kalimat :(. Baiklah, mungkin ini adalah suratan takdir alias jalan Tuhan untuk kita. Pertemuan yang singkat, Percintaan yang singkat, semuanya singkat. Hal yang aku tidak suka dari diriku adalah hal-hal yang sudah terbiasa setiap harinya, perlahan menghilang. Dan aku bersedih jika sudah seperti itu. Mungkin kata yang tepat untuk menggambarkan semua perasaan ini adalah hanya satu kata "Rindu" Baiklah, pertama-pertama aku akan membuat surat untukmu melalui blog ku ini, dan berharap kamu membacanya. Semalam, tanpa sengaja aku menemukan photo di galeri ponselku. Aku ingat, waktu itu kita sedang berkomunikasi setelah kita pulang kerja melalui daring Chatting. Kamu mengirimkan photo itu dan mengatakan

CIUMAN PADA HITUNGAN KETIGA

"Aku akan menciummu pada hitungan ketiga," bisik seorang pria ke telinga pacarnya. Perempuan yang dibisiki, memerah pipinya. Ia hanya tersenyum kecil. Mencubit lengan pacarnya itu. "Kamu apaan sih," jawab si perempuan. Ada gelisah yang tertahan disana. "Kamu pernah berciuman sebelumnya?" Yang ditanya bertambah merah mukanya. Ia tidak menjawab tegas. Hanya berseloroh. "Kamu apaan sih..." "Kalau kamu pernah berciuman, pada hitungan keberapa biasanya kamu mulai berciuman?" "Udah ah, masa ngomongin itu terus..." Lalu lelaki itu mulai menghitung. "Satu..." Jantung perempuan serasa berdetak cepat. Mulai gak beraturan. Entah apa yang dia nantikan. Jujur, ini bukan ciuman pertama baginya. Tapi, ketika dilakukan dengan aba-aba. Rasanya deg-degan juga. Ia mendengar dengan seksama suara lelaki itu menghitung. "Dua..." Ah, dadanya terasa mau meledak. Ia gak bisa membayangkan ciuman seperti apa yang